Ekspedisi Bahtera Seva: Jelajah Labuan Bajo dan Melihat Naga Asli Indonesia

Pariwisata Labuan Bajo
Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Tmur. Foto: Dok. Pribadi

Akhir Februari 2019, saya mendapatkan tugas untuk sebuah ekspedisi di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ini merupakan pengalaman pertama saya mendapatkan tugas semacam ini. Di ekspedisi ini, saya dibawa berkeliling ke beberapa pulau untuk melihat kehidupan masyarakatnya.

Sebenarnya saya tidak sendiri. Ada empat kawan lainnya yang tergabung dalam satu tim dari kantor. Tujuan utamanya adalah mengetahui respons masyarakat atas kehadiran bank terapung atau orang sana menyebutnya bank apung. Dikatakan bank apung karena bank ini berada di sebuah kapal.

Perusahaan pelat merah Bank BRI menyediakan layanan ini untuk masyarakat kepulauan di masing-masing wilayah seperti Kepulauan Seribu, Labuan Bajo, dan Halmahera Selatan. Tapi di sini, saya hanya akan bercerita pengalaman saya pribadi tanpa memaparkan tugas pokok dalam cerita ya.

Kurang lebih selama satu minggu, kami mengikuti jadwal operasional kapal yang diberi nama Bahtera Seva II ini untuk berkunjung ke pulau-pulau seperti Pulau Rinca, Pulau Komodo, Pulau Messah, dan Pulau Papagarang. Pulau-pulau itu masuk dalam kawasan Taman Nasional Komodo.  

Petualangan yang diberi nama Ekspedisi Bahtera Seva ini dimulai pada 23 Februari 2019. Kami resmi meninggalkan Ibu Kota Jakarta melalui Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Komodo di Labuan Bajo.

Perjalanan Jakarta-Labuan Bajo ditempuh selama kurang lebih 3 jam. Kami tiba sekitar pukul 2 siang. Mobil sewaan pun sudah menunggu kedatangan kami. Karena belum memesan hotel, kami pun diantar untuk mencari hotel dan makan terlebih dahulu.


Saat itu kami mendapatkan hotel di sekitaran Jl. Soekarno Hatta, tidak jauh dari Kampung Air, yang jadi tempat pertama menyaksikan sunset di Labuan Bajo.

Esoknya, pada 24 Februari 2019, kami mengeksplor Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang lokasinya berada di Kampung Ujung. Ini adalah TPI lama yang kini sudah direlokasi ke tempat baru. TPI di Labuan Bajo merupakan pusat penjualan ikan yang berasal dari nelayan pulau. 

Petualangan ke pulau-pulau dimulai pada 25 Februari 2019. Pagi sekali kami sudah berada di Bahtera Seva II, kapal yang menjadi tempat tingal kami selama beberapa hari ke depan. Kapal ini memiliki tonase kotor (gross ton) 134 ton. Cukup besar dan luas untuk diisi 15 orang yang terdiri dari kami berlima, empat petugas bank, lima operator kapal, serta seorang petugas keamanan. Di dalamnya juga tersedia dua kamar mandi, dapur, ruang makan, serta kamar tidur. Serasa berlayar dengan kapal pesiar!

Tampilannya memang mirip kapal pariwisata, namun memiliki kelir mencolok dengan paduan warna oranye, biru dan putih. Setahu saya kapal sejenis hanya berkelir putih. Sekadar informasi juga, layanan bank apung ini satu-satunya di Labuan Bajo. Selain memiliki layanan bank (customer service), Bahtera Seva II juga dilengkapi mesin anjungan tunai mandiri (ATM).

Kapal bank terapung Bahtera Seva II di Labuan Bajo
Bahtera Seva II. Foto: Dok. Pribadi.

Ada cerita lucu soal keberadaan ATM di kapal ini. Menurut Mantri BRI, Hendrial, mesin ATM di Bahtera Seva sempat dikira mainan oleh seorang turis mancanegara (bule). "Apa benar ini ATM?" kata Hendrial menirukan ucapan si bule, namun dalam Bahasa Inggris. Mungkin bule tersebut mengira kalau mesin ATM itu hanya berupa pajangan atau aksesori. Hendrial akhirnya menjelaskan kalau ATM tersebut benar-benar berfungsi. 

Rinca

Setelah semuanya berkumpul di kapal, perjalanan pertama kami adalah menuju Pulau Rinca. Jika belum tahu, pulau ini adalah salah satu destinasi wisata selain Pulau Komodo untuk melihat kadal raksasa, Naga Komodo (varanus komodoensis). Di Pulau Rinca kami bersandar di Desa Pasir Panjang.

Tak jauh dari dermaga, ada seorang penjual cendera mata dan patung Komodo yang sudah cukup renta. Ia adalah Bapak Ishata (64) yang merupakan tetua di desa tersebut. Kepada kami dia bercerita mengenai asal usul Suku Komodo, dan bagaimana masyarakat di Pulau Rinca hidup berdampingan dengan hewan yang juga disebut Ora itu.

Menurut legenda, Suku Komodo adalah saudara dari Naga Komodo. Keduanya dilahirkan dari seorang perempuan bernama Putri Naga Komodo. Perempuan ini tak hanya mengandung seorang bayi namun juga sebuah telur. Jadi ia tak hanya melahirkan seorang bayi tapi juga menetaskan seekor Komodo.

Setelah sama-sama dewasa, dan lelaki Suku Komodo ini sedang berburu rusa, ia mendapati seekor Komodo yang akan memakan buruannya. Ia pun hendak membunuh Komodo tersebut. Namun usaha itu digagalkan oleh Putri Naga Komodo yang mengatakan bahwa Komodo tersebut merupakan saudaranya.


Legenda ini pun diyakini Suku Komodo yang percaya kalau Komodo adalah saudaranya. Namun berkat legenda ini, mereka bisa hidup berdampingan hingga kini. Ishata bahkan mengatakan kalau dahulu Komodo bisa mengerti bahasa Suku Komodo. 

"Seperti misalnya 'moke mai' (jangan datang), 'moke waki ahu' (jangan gigit saya), Komodo itu pergi sudah," kata Ishata.

Siang itu kami tidak hanya berbincang dengan tetua Desa Pasir Panjang, melainkan juga dengan kepala desanya. Tentunya kami juga ingin tahu bagaimana mata pencarian mayoritas warganya, serta jumlah penduduk di sana. 

Desa Pasir Panjang dihuni oleh 1.330 jiwa penduduk dengan 450 kepala keluarga. Sebagian besar mata pencarian mereka merupakan nelayan. Penduduk di sini memang sudah terbiasa hidup berdampingan dengan hewan Komodo.

Meski begitu, bukan berarti mereka aman-aman saja. Warga sekitar pun bercerita kalau beberapa kali pernah terjadi serangan oleh Komodo. Kadal raksasa itu biasanya mendatangi perkampungan warga karena mengejar ternak kambing atau ayam.

Oh ya, kondisi Desa Pasir Panjang ini sebenarnya cukup padat penduduk. Mungkin karena luas areanya yang tidak terlalu luas. Saat menyusuri ke dalam perkampungan, kami melihat rumah-rumah berbentuk panggung terbuat dari kayu. Jalan yang kami susuri pun lebarnya mungkin hanya 1,5 meter. Beberapa kali juga kami menemui sejumlah kambing warga yang berlalu-lalang begitu saja.

Karena berada di pulau, listrik di desa ini dihasilakan dari mesin diesel, sehingga tidak menyala selama 24 jam. Warga Pasir Panjang baru bisa mendapatkan penerangan antara jam 6 sore hingga 6 pagi. 

Desa Pasir Panjang
Dermaga di Desa Pasir Panjang, Pulau Rinca. Foto: Dok. Pribadi.

Setelah mengkulik-kulik seputar Desa Pasir Panjang, kami pun berpamitan dengan tetua dan pemerintah desa setempat. Perjalanan dilanjutkan menuju Loh Buaya tempat para Komodo bersemayam. Kami diantarkan oleh seorang warga yang memiliki perahu motor ke tempat tersebut.

Perjalanan dari Desa Pasir Panjang menuju Loh Buaya kurang lebih ditempuh selama 30 menit. Sesampainya di lokasi, kami disambut oleh ranger atau pemandu di sana. Ranger tersebut mengantar kami menuju lokasi untuk melihat Komodo.

Cuaca saat itu sedang cerah-cerahnya. Panasnya paparan sinar matahari seolah merasuk ke dalam daging. Saya sudah pasrah kalau pulang dari sini, kulit berubah jadi legam seperti kedelai hitam.

Dari pintu masuk menuju lokasi tujuan, kurang lebih berjarak 500 meter. Rimbunan pohon bakau menemani kami selama beberapa saat. Setelah itu hanya terlihat dataran tanah yang mengering. Tiba-tiba saja ranger menunjuk sesuatu. Dia rupanya memperlihatkan kotoran Komodo di jalan yang kami lalui. Ini tandanya sudah dekat dengan area tinggal hewan tersebut.

Di tengah perjalanan kami disambut oleh gapura berbentuk Komodo. Bentuknya berupa dua ekor komodo yang sedang menangkat masing-masing badannya. Setelah melewati gapura, kami hanya melihat tanah kering di kanan-kiri tanpa adanya pelindung sinar matahari. 


Setelah dekat dengan tujuan, kami melihat sekawanan kerbau yang sedang berkubang di lumpur. Rasanya enak juga melihat mereka asyik bermain lumpur di teriknya cuaca saat itu. Tapi lamunan saya buyar ketika ranger mengatakan kalau kerbau-kerbau itu adalah mangsa Komodo. Mereka memang hidup secara liar di kawasan tersebut. Saya jadi membayangkan, seandainya sedang asyik berkubang tiba-tiba diserang Komodo, wadaaw!

Tiba lah kami di lokasi tujuan untuk melihat secara langsung keberadaan hewan langka dan endemik Nusa Tenggara Timur ini. Lokasi ini menjadi tempat pembelian tiket serta pos utama para ranger. Kami diperingatkan agar tidak mengayun-ayunkan tangan saat berjalan. Hal itu untuk menghindari serangan Komodo. 

Menurut arahan ranger, Komodo akan mengira kita sedang memberinya makan saat mengayun-ayunkan tangan. Selain itu kita juga harus tetap waspada, sebab kadang-kadang Komodo tersamar oleh batang pohon, tanah, atau akar pohon. Jangan sampai tidak terlihat, dan tiba-tiba menginjak Komodo! Bisa repot nanti. 

Gerakan Komodo juga sulit ditebak. Meskipun mereka sedang bersantai, namun secara tiba-tiba bisa mengejar. Bila sudah terkena gigitannya, maka akan sulit dilepas. Parahnya, air liur Komodo ini mengandung bakteri yang bisa mematikan.

Menurut cerita, Komodo di Pulau Rinca ini lebih agresif ketimbang di Pulau Komodo. Sebab, mereka masih berburu sendiri untuk mencari makan. Jumlahnya juga lebih banyak, sehingga bisa dengan mudah menemui mereka.

Terbukti, belum beranjak lebih jauh dari tempat kami berdiri, kami sudah udah bisa melihat Komodo yang sedang berjalan. Ukuran tubuhnya tergolong sedang. Meski maksud hati ingin melihat lebih dekat, namun ranger tersebut memperingatkan agar menjauh. Masih ada yang lebih besar katanya.

Benar saja, hanya berjalan beberapa langkah dari lokasi pertama, ranger menunjukkan dua ekor Komodo berukuran besar tengah tertidur di bawah pohon rindang. Badan mereka tertelungkup di atas permukaan tanah, seolah sedang bersantai di teriknya cuaca siang itu. Setelah puas mengamati Komodo bermalas-malasan, kami diarahkan menuju tempat selanjutnya.

Naga Komodo di Pulau Rinca
Naga Komodo di Loh Buaya, Pulau Rinca. Foto: Dok. Pribadi.

Di tempat kedua, kami kembali menemukan kumpulan Komodo yang sedang bersantai di dekat sebuah pohon. Mereka tampaknya sedang berjemur. Ukurannya memang tidak terlalu besar, tapi dengan mulut menganga dan liur yang menetes, sudah cukup ngeri untuk lebih mendekat.

Saya gapai kamera yang menggantung di leher untuk mengabadikan momen ini. Dari arah samping, tiba-tiba saja ranger memberi peringatan kepada teman saya. "Awas itu ada Komodo!"


Rupanya kami kurang wasapada. Di bawah pohon yang dekat dengan kawanan Komodo tadi, masih ada Komodo lain yang sedang bersantai di bawah bayangan pohon. Pandangan yang cukup kontras antara gelap dan terang mengelabui mata kami yang tidak melihat ada Komodo lainnya. Untung saja, ranger segera memberi tahu. Jangan sampai Komodo itu terinjak dan balik menyerang kami, huh!

Di lokasi ketiga, kami juga mendapati beberapa Komodo yang sedang beristirahat. Di sini satu per satu dari kami dipersilahkan foto bersama Komodo. Tapi masih dengan jarak aman ya!

Naga Komodo di Nusa Tenggara Timur, Indonesia
Naga Komodo merupakan hewan asli dan endemik Indonesia. Foto: Dok. Pribadi.

Sambil menunggu giliran, saya mengamati keadaan sekitarnya. Rupanya ada berbagai macam hewan lain yang tinggal di lahan Taman Nasional Komodo tersebut. Saya menemukan beberapa ekor monyet yang sedang bergelantungan di pohon, burung gagak yang terbang bolak-balik dari satu dahan ke dan lainnya, serta sekumpulan kerbau yang sedang memakan rumput. Pemandangan alami ini sungguh bikin tenteram.

Sudah puas foto bersama Komodo, kami sudahi perjalanan siang itu di Loh Buaya. Perahu ditujukan kembali ke Desa Pasir Panjang, tempat Bahtera Seva II bersandar. Hari itu kami tidak jadi menginap di kapal dan kembali ke Labuan Bajo untuk menyaksikan sunset di sana. 

Cerita ini bersambung ke part 2 yang akan segera di-update dalam waktu dekat. Nantikan perjalanan selanjutnya di pulau-pulau lainnya, ya!


Postingan populer dari blog ini

Momen dalam Fotografi

Tentang Foto Makro Serangga: Proses dan Tips yang Perlu Diketahui

Fotografi Ekstrim: Tips dan Trik Memotret Petir